BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang.
Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya.
Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan kepada orang lain.
Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita.
Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang kami angkat dari makalah ini adalah bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan kehilangan dan berduka disfungsional.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan asuhan keperawatan ini, adalah:
1. Tujuan umum
• Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan kehilangan dan berduka disfungsional
2. Tujuan khusus
• Mahasiswa mampu menjelaskan tentang konsep dasar asuhan keperawatan, kehilangan dan berduka
• Mahasiswa mampu menjelaskan proses dari kehilangan dan berduka
• Mahasiswa mampu menjelaskan pengkajian, analisa data, diagnose keperawatan, intervensi dan evaluasi dari asuhan keperawatan kehilangan dan berduka.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. (Potter & Perry. 2005)
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35).
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. (Suseno, Tutu April. 2004)
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung :
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu
B. Tipe Kehilangan
Kehilangan dibagi dalam 3 tipe yaitu :
1. Aktual atau nyata
Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi, kematian orang yang sangat berarti / di cintai.
2. Psikologis atau dirasakan
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.
3. Anticipatory
Perilakunya seperti orang kehilangan/berduka walaupun hal tersebut belum terjadi. Contoh : keluarga dengan anggotanya sakit terminal
C. Sumber-sumber Kehilangan
Terdapat 4 katagori sumber kehilangan, yaitu:
• Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.
Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.
• Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
• Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.
• Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.
D. Gambaran Respon Kehilangan
Gambaran respon kehilangan antara lain :
1. Terkejut dan tidak percaya
2. Mengembangkan kesadaran
3. Restitusi (mulai berfikir kedepan)
4. Resolusi (harapan yang sudah nampak nyata)
E. Definisi berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
1. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
2. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
F. Tugas Berduka
Menurut Worden (1982) terdapat empat tugas berduka, yaitu :
• Menerima realitas kehilangan
• Mengalami kesedihan
• Penyesuaian dengan cepat
• Mengumpulkan energi
G. Teori dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya.
Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
• Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
• Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
• Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut :
a. Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b. Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
c. Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
d. Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
e. Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.
3. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
4. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
a. Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
b. Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
c. Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.
PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA
ENGEL (1964) KUBLER-ROSS (1969) MARTOCCHIO (1985) RANDO (1991)
Shock dan tidak percaya Menyangkal Shock and disbelief Penghindaran
Berkembangnya kesadaran Marah Yearning and protest
Restitusi Tawar-menawar Anguish, disorganization and despair Konfrontasi
Idealization Depresi Identification in bereavement
Reorganization / the out come Penerimaan Reorganization and restitution akomodasi
BAB III
ASKEP BERDUKA DISFUNGSIONAL
A. Pengkajian
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
B. Diagnosa keperawatan: Berduka disfungsional
Definisi: sesuatu respon terhadap kehilangan yang nyata maupun yang dirasakan dimana individu tetap terfiksasi dalam satu tahap proses berduka untuk suatu periode waktu yang terlalu lama, atau gejala berduka yang normal menjadi berlebih-lebihan untuk suatu tingkat yang mengganggu fungsi kehidupan.
C. Kemungkinan Etiologi (“yang berhubungan dengan”)
• Kehilangan yang nyata atau dirasakan dari beberapa konsep nilai untuk individu.
• Kehilangan yang terlalu berat (penumpukan rasa berduka dari kehilangan multiple yang belum terselesaikan).
• Menghalangi respon berduka terhadap suatu kehilangan.
• Tidak adanya antisipasi proses berduka.
• Perasaan bersalah yang disebabkan oleh hubungan ambivalen dengan konsep kehilangan.
D. Batasan Karakteristik (“dibuktikan dengan”)
• Idealisasi kehilangan (konsep)
• Mengingkari kehilangan
• Regresi perkembangan
• Gangguan dalam konsentrasi
• Kesulitan dalam mengekspresikan kehilangan
• Afek yang labil
• Kelainan dalam kebiasaan makan, pola tidur, pola mimpi, tingkat aktivitas.
E. Sasaran/Tujuan
1. Sasaran jangka pendek
Pasien akan mengekspresikan kemarahan terhadap konsep kehilangan dalam 1 minggu.
2. Sasaran jangka panjang
Pasien akan mampu menyatakan secara verbal perilaku-perilaku yang berhubungan dengan tahap-tahap berduka yang normal. Pasien akan mampu mengakui posisinya sendiri dalam proses berduka sehingga ia mampu dengan langkahnya sendiri terhadap pemecahan masalah.
F. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya dengan pasien, perlihatkan empati dan perhatian serta jujur dan menepati semua janji
b. Membantu mengidentifikasi penyebab pasien kehilangan dan berduka
c. Membantu mengidentifikasi perilaku pasien berespon dalam keadaan kehilangan dan berduka
d. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol respon yang muncul akibat kehilangan dan berduka
e. Membantu pasien memilih aktivitas motorik kasar sesuai kemampuannya (misalnya jogging, bola voli dll)
f. Ajarkan tentang tahap-tahap berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan dengan setiap tahap. Bantu pasien untuk mengerti bahwa perasaan seperti rasa bersalah dan marah terhadap konsep kehilangan adalah perasaan yang wajar dan dapat diterima selama proses berduka.
g. Komunikasikan kepada pasien bahwa menangis merupakan hal yang dapat diterima. Menggunakan sentuhan merupakan hal yang terapeutik dan tepat untuk kebanyakan pasien.
h. Bantu pasien dalam memecahkan masalahnya sebagai usaha untuk menentukan metoda-metoda koping yang lebih adaptif terhadap pengalaman kehilangan. Berikan umpan balik positif untuk identifikasi strategi dan membuat keputusan.
i. Dorong pasien untuk menjangkau dukungan spiritual selama waktu ini dalam bentuk apapun yang diinginkan untuknya. Kaji kebutukan-kebutuhan spiritual pasien dan bantu sesuai kebutuhan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
G. Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang
1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap tahap.
2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep kehilangan secara jujur.
3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan mampu melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
Kehilangan dibagi dalam 3 tipe yaitu: Aktual atau nyata, persepsi dan anticipatori. Terdapat 4 katagori kehilangan, yaitu:Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai, kehilangan lingkungan yang sangat dikenal, kehilangan objek eksternal dan kehilangan yang ada pada diri sendiri/aspek diri.
Elizabeth Kubler-rose,1969.h.51, membagi respon berduka dalam lima fase, yaitu : pengikaran, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat kami sampaikan sebagai berikut :
1. Dalam perencanaan tindakan, harus disesuaikan dengan kebutuhan klien saat itu.
2. Dalam perumusan diagnose keperawatan, harus diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan maslow ataupun kegawatan dari masalah.
3. Selalu mendokumentasikan semua tindakan keperawatan baik yang kritis maupun yang tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri, Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
stikes.fortdekock.ac.id
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.
Kamis, 31 Agustus 2017
jurnal airway refluks, batuk dan penyakit penapasan abstrak
Airway
refluks, batuk dan penyakit pernapasan
Abstrak
Hal
ini semakin diterima bahwa efek refluks gastro-esofagus tidak terbatas pada saluran pencernaan. Stuktur pernafasan
yang berdekatan juga beresiko dari bahan dikluarkan dari esofagus proksimal
sebagai akibat dari kegagalan anatomi dan hambatan fisiologis,ada bukti dari
pengaruh refluks pada beberapa pernafasan dan kondisi otorhinological dan
meskipun dalam banyak kasus mekanisme yang tepat belum dapat
dijelaskan,asosiasi saja membuka potensi jalan baru terapi untuk dokter.
berjuang
untuk mengobati pasien dengan keluhan pernapasan rupanya terselesaikan. ulasan
ini memberikan gambaran dari
sindrom saluran nafas refluks, dampaknya pada paru – paru dan saat ini dan
pilihan terapi masa depan.
[
Nordenstedt et al . 2006 ] adanya esofagitis erosif atau striktur yang
diselidiki oleh el-serag dan
sonnenberg (El-serag dan sonnenberg, 1997) dalam tinjauan retrospektif lebih
dari 100.000 kasus. Penelitian kedua mnemukan hubungan positif dengan
sinusitis,aphonia,laringitis dan stenosis laring pada pernafasan atas saluran
serta fitur saluran yang lebih rendah seperti bronkitis kronis, asma,obstruktif
keronik penyakit paru (PPOK), fibrosis paru, bronkiektasis, kolaps paru dan
pneumonia. Studi lebih kecil telah menunjukkan bahwa kehadiran dari hernia
hiatus atau refluks esofagitis dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan
pernafasan rawat inap terkait ( Ruhl et al. 2001) dan Rhine kelompok studi
menunjukkan bahwa nokturanal GOR secara independen terkait dengan timbulnya
asma dan pernafasan gejala.
Kata kunci : saluran
udara refluks , batuk , penyakit pernapasan , terapi
Metode
nonfarmakologi Metode
paling
sederhana untuk dokter menyarankan mungkin yang paling sulit bagi pasien untuk
mencapai , penurunan berat badan mengurangi kecenderungan untuk refluks dan
membawa manfaat yang terkait dalam mengurangi beban
pada sistem pernapasan .
Langkah-langkah yang lebih spesifik dapat
disarankan , seperti menghindari makanan besar dan minuman berkarbonasi seperti
lambung dis -ketegangan merangsang episode TLOSR [ Scheffer dkk . 2002 ] .
Kafein dan nikotin keduanya memperburuk refluks [ Pandolfino dan Kahrilas ,
2000; Boekema et al . 1999 ] tapi apakah mengurangi asupan minuman berkafein
atau berhenti merokok yang efektif sebagai modalitas pengobatan untuk saluran
napas refluks adalah diffi - kultus untuk mengukur .
Pada ujung spektrum
risiko, prosedur bedah juga merupakan pilihan untuk mengobati saluran napas
refluks . Laparoskopi Nissen fundoplication mapan sebagai pengobatan yang aman
dan efektif untuk khas GOR [ Broeders et al . 2010 ] dan ada peningkatan bukti
efektivitas dalam mengobati - ing batuk kronis dan pernapasan lainnya
gejala-gejala [ Fathi et al . 2009; Farrell et al . 2001; Allen dan Anvari ,
1998] . Pada penderita obesitas , a- en - Y bypass lambung Roux mungkin
alternative dengan manfaat gabungan penurunan berat badan dan peningkatan
bersamaan dalam hambatan mekanik untuk refluks [ Ikramuddin , 2008 ] lebih
efektif .
Kesimpulan Airway refluks
adalah
kondisi luas dengan kombinasi karakteristik gejala . Hal ini jelas terkait
dengan berbagai penyakit paru-paru dan penelitian yang sedang berlangsung
adalah memberikan wawasan baru ke dalam mekanisme patologis yang terlibat .
Penyelidikan saat ini terbatas tapi memberikan bukti pendukung untuk diagnosis
dan modalitas baru menjadi tersedia .
Pengakuan
dari sindrom dapat membuka berbagai kemungkinan terapi untuk dokter untuk
pasien yang mungkin telah dicap sebagai intracta - ble . Diagnosis harus
dipertimbangkan pada pasien dengan batuk kronis atau sesak napas dijelaskan epi
- sodik dengan adanya rasa tidak enak di tenggorokan , kliring tenggorokan
berlebihan dan nyeri , globus atau disfonia . Farmakoterapi saat menggunakan
didirikan , obat murah dan ada potensi untuk perbaikan gejala sig - nificant
pada pasien dengan penyakit pernapasan didirikan . Studi lebih lanjut
diperlukan untuk mengembangkan metode yang lebih tepat untuk mengidentifikasi
pasien dengan refluks saluran napas yang signifikan dan untuk menyelidiki efek
terapi .
makalah Askep seksualitas dalam keperawatan untuk orang dewasa
Aspek Seksualitas dalam Keperawatan untuk Orang Dewasa
Seksualitas merupakan bagian integral dari kehidupan
manusia. Seksualitas di defenisikan sebagai kualitas manusia, perasaan paling
dalam, akrab, intim dari lubuk hati paling dalam, dapat pula berupa pengakuan,
penerimaan dan ekspresi diri manusia sebagai mahluk seksual. Karena itu
pengertian dari seksualitas merupakan sesuatu yang lebih luas dari pada hanya
sekedar kata seks yang merupakan kegiatan fisik hubungan seksual. Seksualitas
merupakan aspek yang sering di bicarakan dari bagian personalitas total
manusia, dan berkembang terus dari mulai lahir sampai kematian. Banyak
elemen-elemen yang terkait dengan keseimbangan seks dan seksualitas.
Elemen-elemen tersebut termasuk elemen biologis; yang terkait dengan identitas
dan peran gender berdasarkan ciri seks sekundernya dipandang dari aspek
biologis. Elemen sosiokultural, yang terkait dengan pandangan masyarakat akibat
pengaruh kultur terhadap peran dan kegiatan seksualitas yang dilakukan
individu. Sedangkan elemen yang terakhir adalah elemen perkembangan psikososial
laki-laki dan perempuan. Hal ini dikemukakan berdasarkan beberapa pendapat ahli
tentang kaitannya antara identitas dan peran gender dari aspek psikososial.
Termasuk tahapan perkembangan psikososial yang harus dilalui oleh oleh individu
berdasarkan gendernya.
Seksualitas
suliat untuk di definisikan karena seksualitas memiliki banyak aspek kehidupan kita
dan diekspresikan melalui beragam perilaku. Seksualitas bukan semata-mata
bagian intrinsik dari seseorang tetapi juga meluas sampai berhubungan dengan
orang lain. Keintiman dan kebersamaan fisik merupakan kebutuhan sosial dan
biologis sepanjang kehidupan. Kesehatan seksual telah didefinisikan sebagai
perintregrasian aspek somatik emosional intelektual dan social dari kehidupan
seksual dengan cara yang positif memperkaya dan meningkatkan kepribadian,
komunikasi, dan cinta. Banyak orang salah berpikir tentang seksualitas hanya
dalam istilah seks. Seksualitas dan seks bagaimanapun adalah sesuatu hal yang
berbeda seks sering digunakan dalam 2 cara. Paling umum seks digunakan untuk
mengacu pada bagian fisik dari berhubungan, yaitu aktivitas seksual genital. Seks
juga digunakan untuk member lebel jender, baik sesorang itu pria atau wanita.
Seksualitas dilain pihak adalah istilah yang lebih luas seksualitas
diekspresikan melalui interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin
yang berbeda dan atau sama dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal,
nilai, fantasi, dan emosi. Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seorang
merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengomunikasikan perasaan
tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang dilakukannya, seperti
sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama seksual dan perilaku yang lebih halus,
seperti isyarat gerak tubuh, etiket berpakaian, dan perbendaharaan kata.
Seksualitas mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengalaman hidup ini sering
berbeda antara pria dan wanita (Denney dan Quadagno, 1992; Zawid, 1994)
Masalah
keperawatan yang terjadi pada kebutuhan seksual adalah pola seksual dan
perubahan disfungsi seksual. Pola seksual mengandung arti bahwa suatu kondisi
seorang individu mengalami atau beresiko mengalami perubahan kesehatan seksual
sedangkan kesehatan seksual sendiri adalah integrasi dari aspek samatis,
emosional, intelektual, dan sosial dari keberadaan seksual yang dapat
meningkatkan rasa cinta, komunikasi, dan kepribadian. Disfungsi seksual adalah
keadaan dimana seseorang mengalami atau beresiko mengalami perubahan fungsi
seksual yang negatif yang di pandang sebagai tidak berharga dan tidak memadainya
fungsi seksual.
Dewasa
telah mencapai maturasi tetapi terus untuk mengesplorasi dan menemukan maturasi
emosional dalam hubungan. Dewasa mudah secara tradisonal dipandang sebagai
berperan dalam melahirkan anak atau membesarkan anak. Model ini menggambarkan
sebagian besar orang dewasa. Keintiman dan seksualitas juga merupakan masalah
bagi orang dewasa yang memilih untuk tidak melakukan hubungan seks, tetap
melajang karena pilihan sendiri atau karena situasi tertentu tetap menginginkan
aktivitas seksul, yaitu mereka yang melajang setelah memutuskan hubungan,
mereka yang homoseksul, mereka yang tidak mempunyai anak berdasarkan pilihan, atau
mereka yang tidak mampu melahirkan anak. Sambil mengembangkan hubungan yang
intim, semua orang dewasa yang secara seksual aktif harus belajar teknik
stimulasi dan respon seksual yang memuaskan bagi pasangan mereka beberapa orang
dewasa mungkin hanya memerlukan isi untuk beresksperimen dengan perilaku.plihan
atau keyakinan bahwa ekspresi seksual selain dari senggama penis-vagina adlah
normal. Orang dewasa dapat didorong untuk mengungkapkan kepada pasangan mereka
tipe stimuli dan seksual atau kasih sayang yang dianggap sebagai memuaskan.
Pengenalan secara mutual tentang keinginan dan preverensi dan negosiasi praktik
seksual mencetuskan ekspresi seksual yang positif. Penyuluhan keagaman, nilai
keluarga, dan sikap keluarga mempengaruhi penerimaan terhadap sebagian bentuk
stimulasi atau mungkin akan mempunyai efek emosional residual seperti rasa
bersalah atau ansietas dan disfungsi seksual.
Pada
akhir masa dewasa individu menyesuiakan diri terhadap perubahan social dan
emosi sejalan denga anak2 mereka meninggalkan rumah.pembaruan kembali keintiman
dapat memungkinkan atau diperlukan diantara pasangan.nmun demikian salah sati
atau kedua pasangan dapat mengalami ancaman terhadap gambaran diri karena tubuh
ltelah menua dan mungkin berupaya untuk mencapai kemudaan melalui hubunga
seksual dengan pasangan yang jauh lbh muda.jika di inginkan pasangan dapat di
bantu untuk mennemukan sesuatu yang baru atau kegairahan baru galam hubungan
monogami yang langgeng melalui percobaan posisi teknik seksual dan penggunaan fantasi.
Pada tahap ini perkembangan secara fisik sudah cukup
dengan ciri seks sekunder mencapai puncaknya, yaitu antara umur 18-30 tahun.
Pada masa pertengahan umur terjadi perubahan hormonal: pada wanita ditandai
dengan penurunan estrogen, pengecilan payu darah dan jaringan vagina, penurunan
cairan vagina selanjutnya akan tejadi penurunan reaksi ereksi. Pada pria di
tandai dengan penurunan ukuran penis serta penurunan semen. Dari perkembangan
psikososial, sudah mulai terjadi hubungan intim antara lawan jenis proses
pernikahan dan memiliki anak sehingga terjadi perubahan peran.
Perubahan yang terjadi pada tahap ini pada
wanita di antaranya adalah atropi pada vagina dan jaringan payudara, penurunan
cairan vagina, dan penurunan intensitas orgasme pada wanita sedangakan pada
pria akan mengalami penurunan produksi sperma, berkurangnya intensitas orgasme,
terlambatnya pencapaian ereksi dan pembesaran kelenjar prostat.
Seksualitas dalam usia tua beralih dari penekanan pada prokreasi mnjdi penekanan pd
pertemanan kedekatan fisik komunikasi intim dan hubungan fisik mncri ksenangan
(Ebersole & Hess 1994).Tidak ADa alas an bagi individu tdk dpat ttp aktf
secara seksual sepanjang mereka memilihnya.Hal ini dapat secara efektif dipenuhi
dgn mmperthnkn aktifitas seksual scra teratur sepnjng hidup.terutama seks bagi
wanita hubungan senggama teratur membantu mmperthnkan elastisitas vagina
mncegah atrofi dam mmperthnkan kemampuan untuk lubrikasi. Namun demikian proses
penuaan mempengaruhi perilaku seksual. Perubahan fisik yang terjadi bersama
proses penuaan harus dijelaskan kepada klien lansia.lansia mngkin juga
menghadapi kekuatiran kesehatan yang mmbuat sulit bagi mereka utk melanjutkan aktifitas
seksual.dewasa yang menua mungkin harus menyesuaikan tindakan seksual dan
berespons terhadap penyakit kronis medikasi sakit dan nyeri atau masalah
kesehatan lainnya.
Beberapa bentuk penyimpangan seksual atau
deviasi seksual yang dapat dijumpai di masyarakat atara lain:
1.
Pedovilia yaitu kepuasan seksual dicapai dengan menggunakan objek anak-anak.
Penyimpangan ini ditandai dengan adanya fantasi berhubunga seksual dengan anak
puberitas. Hal tersebut disebabkan oleh kelainan mental, seperti zhizofrenia,
sadisme organik, atau gangguan kepribadian organik.
2. Eksibisionisme
yaitu kepuasan seksualdicapai dengan cara mempertontonkan alat kelamin
dihadapan orang yang tidakdikenal, namun tidak ada upaya untuk melakukan
hubungan seksual.
3. Fetisisme
yaitu kepuasan seksual dicapai dengan menggunakan benda seks seperti sepatu
tinggi, pakaian dalam, stocking, atau lainnya. Disfungsi ini dapat disebabkan
antara lain karena eksperimen seksualyang normal dan beda pergantian kelamin.
4. Transvestisme
yaitu kepuasan seksual dicapai dengan memakai pakaian lawan jenis dan melakukan
peran seks yang berlawanan, misalnya pria yang sedangan menggunakan pakaian
dalam wanita.
5. Transeksualisme
yaitu bentuk penyimpangan seksual ditandai dengan perasaan tidak senang
terhadap alat kelaminnya, adanya kelainan untuk berganti kelamin.
6. Voyerisme
/ Skopoffilia yaitu kepuasan seksual dicapai dengan melihat alat kelamin orang
lain atau aktivitas seksual yang dilakukan orang lain.
7. Marokisme
yaitu kepuasan seksual dicapai melalui kekerasan atau disakiti terlebih dahulu
secara fisik atau psikologi.
8. Sadisme
merupakan lawan dari Masokisme yaitu kepuasan seksual dicapai dengan menyakiti
objeknya, baik secara fisik maupun psikologis (dengan menyiksa pasangan) hal
tersebut dapat disebabkan antara lain karena perkosaan dan pendidikan yang
salah.
9. Homoseksual
dan Lesbianisme yaitu penyimpangan seksual yang ditandai dengan ketertarikan
secara fisik maupun emosi kepada sesama jenis. Kepuasan seksual dicapai melalui
hubungan dengan orang berjenis kelamin sama.
10.
Zoofilia yaitu kepuasan seksual dicapai dengan menggunakan objek binatang.
11. Sodomi yaitu kepuasan seksual dicapai dengan
hubungan melalui anus.
12. Nekropilia
yaitu kepuasan seksual dicapai dengan menggunakan objek mayat.
13. Koprofilia
yaitu kepuasan seksual dicapai dengan menggunakan objek feses.
14. Urolagnia
yaitu kepuasan seksual dicapai dengan menggunakan objek urine yang diminum.
15. Oral
seks/Kunilingus yaitu kepuasan seksual dicapai dengan menggunakan mulut pada
alat kelamin wanita.
16. Fekiksio
yaitu kepuasan seksual dicapai dengan menggunkan mulut pada alat kelamin
laki-laki.
17. Froterisme/Friksionisme
yaitu kepuasan seksual dicapai dengan cara menggosokan penis pada pantat wanita
atau badan yang berpakain ditempat yang penuh sesak manusia.
18. Goronto yaitu kepuasan seksual dicapai
melalui hubungan dengan lansia.
19. Frottage
yaitu kepuasan seksual dicapai dengan cara meraba orang yang senangi tanpa
diketahui lawan jenis.
20. Pornografi
yaitu gambar atau tulisan yang dibuat secara khusus untuk memberi rangsangan
seksual (Maramis WF, 2004).
Terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi gangguan dalam fungsi seksual
diantaranya:
1.
Tidak adanya panutan (role model)
2.
Gangguan struktur dan fungsi tubuh seperti adanya trauma, obat, kehamilan atau
abnormalitas anatomi genetalia.
3.
Kurang pengetahuan atau informasi yang salah megenai masalah seksual.
4.
Penganiayaan secara fisik.
5.
Adanya penyimpangan psikoseksual.
6.
Konflik terhadap nilai.
7.
Kehilangan pasangan karena perpisahan atau kematian.
Seksualitas
merupakan bagian dari kehidupan manusia. Kebutuhan seksual yang dialami oleh
orang dewasa merupakan kebutuhan seks yang mengalami penurunan fungsi organ
reproduksi mengakibatkan kecanggungan dalam hubungan pasangan suami istri.
Masalah
keperawatan yang terjadi pada kebutuhan seksual adalah pola seksual dan
perubahan disfungsi seksual. Pola seksual mengandung arti bahwa suatu kondisi
seorang individu mengalami atau beresiko mengalami perubahan kesehatan seksual
Disfungsi
seksual adalah keadaan dimana seseorang mengalami atau beresiko mengalami
perubahan fungsi seksual yang negatif yang di pandang sebagai tidak berharga
dan tidak memadainya fungsi seksual.
Seksualitas
merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Seksualitas di defenisikan
sebagai kualitas manusia, perasaan paling dalam, akrab, intim dari lubuk hati
paling dalam, dapat pula berupa pengakuan, penerimaan dan ekspresi diri manusia
sebagai mahluk seksual. Oleh karena itu seksualitas pada orang dewasa sangat
dibutuhkan dalam keharmonisan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul H, A.A. 2006. Pengantar kebutuhan dasar
manusia. Jakarta: salemba medika.
Anonim, 2010. Pengertian
seksualita. http://blog.re.or.id/seksualitas.htm Di akses pada 16 mei 2010.
Anonim, 2010. Aspek Seksualitas dalam Keperawatan untuk orang dewasa. http://blog.re.or.id/aspek seksualitas.htm Di akses pada 16 mei 2010.
Potter dan perry. 2005. Buku ajar fundamental keperawatan : konsep, proses, dan praktik.
Edisi 4 Jakarta: EGC
Prinsip Prinsip Legal dan Etis Dalam Tindakan
Keperawatan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Seorang perawat professional harus memahami dan bisa
mengaplikasikan prinsip – prinsip legal dan etis dalam mengambil keputusan
sehubungan dengan tindakan keperawatan agar tujuan dari proses keperawatan
dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan hokum dan norma yang berlaku. Dalam
hal ini, perawat harus memahami isi dari prinsip – prinsip legal dan etis
seperti Autonomy, beneficence, justice, nonmaleficience, nilai dan norma
masyarakat, isu etis, dalam keperawatan, advokasi, responsibilitas, loyalitas,
transplantasi organ, devices, neglected, serta informed consent.
Sebagai contoh anda sebagai perawat menemukan kasus Nn
“Y” (14 tahun) seorang siswi kelas 3 SMP “S”, saat ini sedang hamil usia 4
bulan keluar dari sebuah klinik “T” yang terkenal dengan praktek aborsinya.
Saat kembali pulang ke rumah, ibunya menemukan Nn. Y sudah tidak sadarkan diri
dan terkejut dengan adanya pendarahan hebat keluar dari sekitar alat kelamin
anaknya. Saat itu juga, Nn Y dibawa ke RS “D” dan langsung ditangani serius
oleh dokter dan perawat meningat sudah terjadi syok Hipovolemik pada kondisi
pasien. Setelah sadar dan kondisi membaik, Nn. Y tampak terguncang mentalnya
serta tidak dapat mengontrol emosinya dan berharap pada perawat bisa memberikan
tindakan euthanasia pada dirinya. Seandainya diizinkan oleh keluarganya, Nn Y
berharap bisa memberikan ginjalnya bagi pasien yang membutuhkan organnya
sebagai bentuk penebus rasa bersalahnya.
1.2.
Kata – Kata
Sulit, Definisi, Analisa dan Pengertian
No
|
Kata – Kata Sulit
|
Definisi
|
Analisa
|
Pengertian
|
1
|
Autonomy
|
Bergerak bebas, kepercayaan diri.
|
Bergerak bebas.
|
Penentuan Pilihan.
|
2
|
Beneficence.
|
Manfaat, kebiasaan, sesuatu yang didapatkan.
|
Manfaat.
|
Berbuat
baik.
|
3
|
Justice.
|
Kenyamanan, hal yang dirasakan, keharmonisan, kestabilan.
|
Kenyamanan.
|
Keadilan.
|
4
|
Hopovolemik.
|
Beban yang berlebihan, reaksi, masalah yang dialami, kekurangan oksigen,
kekurangan cairan.
|
Reaksi terhadap masalah yang berlebihan.
|
Keadaan tubuh yang kekurangan cairan.
|
5
|
Devices.
|
Simpanan, pencarian, kemasan.
|
Penyimpanan.
|
Perangkat.
|
6.
|
Euthanasia.
|
Suntik mati, pemutusan hak hidup.
|
Pemutusan hak hidup dengan cara suntik mati.
|
Pemberian suntik mati.
|
7
|
Neglected.
|
Tepat waktu.
|
Tepat waktu.
|
Kelalaian.
|
8.
|
Advokasi.
|
Pembela.
|
Pembela.
|
Pembela.
|
9
|
Informed consent.
|
Pusat informasi, konsentrasi, berita, penyampaian pesan.
|
Pusat pemberi informasi.
|
Persetujuan
tindakan kedokteran.
|
10
|
Transplantasi organ.
|
Pencangkokan organ, donor, pemindahan organ.
|
Pencangkokan organ.
|
Pencangkokan organ.
|
11
|
Etis.
|
Pantas, selaras, tepat, sesuai.
|
Pantas.
|
Pantas.
|
12
|
Nonmaleficience.
|
Tidak tepat waktu.
|
Strandar kebersihan dalam kesehatan.
|
Tidak merugikan.
|
13
|
Responsibilitas.
|
Tanggapan, interaksi, reaksi.
|
Kemampuan untuk memberikan tanggapan.
|
Tanggung jawab.
|
1.3.
Daftar
Pertanyaan
1. Pertanyaan :
berdasarkan kasus diatas. Coba analisa oleh anda perlukah perawat mempelajari
prinsip – prinsip legal dan etis dalam mengambil keputusan dalam tindakan
keperawatan! Bila ia, mengapa hal ini perlu dimiliki oleh seorang perawat
professional, serta bila dikaitkan denga kasus Nn. Y seberapa pentingkah hal
ini bisa mejawab tujuan dari proses keperawatan agar terlaksana dengan baik
sesuai dengan hokum dan norma yang berlaku. Berikan alasannnya!
Jawaban :
2. Pertanyaan :
sebagai perawat yang sedang dihadapkan kasus pasien dengan multikompleks
permasalahannya seperti kasus di atas, tindakan apa yang sebaiknya peraway
lakukan saat mendengar pasien berharap tindakan euthanasia dan berkeinginan
memberikan ginjal setelah dirinya meninggal.! Coba analisa oleh anda dengan
menggunakan prinsip – prinsip legal dan etis dalam mengambil keputusan dalam
tindakan keperawatan! Bagaimana aspek legal hukumnya tentang euthanasia dan
transplantasi organ di Negara kita!
Jawaban :
3. Pertanyaan :
Apakah tindakan aborsi yang dilakukan oleh Nn. Y menurut sisi medis bisa
membahayakan jiwanya? Bagaimana menurut pandangan norma hokum dan norma
masyarakat mengenai kasus aborsi Nn. Y? bagaimana seharusnya aparat hokum
bertindak terhadap klinik “T” tersebut serta bagaimana sikap anda jika ternyata
pemilik klinik tersebut adalah teman sejawat anda sebagai perawat.
Jawaban :
Prinsip – Prinsip Legal dan Etis
Dalam Mengambil Keputusan Terhadap Tindakan Malpraktek.
1. Pertanyaan :
Sebutkan isi dari prinsip etik dan legal dalam tindakan keperawatan!
Jawaban
: Ada pada pembahasan.
2. Pertanyaan :
Apa komponen komponen yang mendasari transplantasi?
Jawaban
: Ada pada pembahasan.
3. Pertanyaan :
Apa yang dimaksud dengan aborsi?
Jawaban :
Ada pada pembahasan.
4. Pertanyaan :
Apa yang menyebabkan seseorang diberikan tindakan euthanasia?
Jawaban : Ada pada pembahasan.
5. Sebutkan
jenis jenis euthanasia!
Jawaban :
Ada pada pembahasan.
1.4.Pohon
Masalah

1.5.
Tujuan
Pembelajaran
1.
Mengatahui
dan memahami prinsip – prinsip etik tindakan keperawatan.
2.
mengetahui
dan memahami issue etik dalam tindakan keperawatan.
3.
mengetahui
dan memahami transplantasi organ.
4.
Mengetahui
dan memahami prinsip – prinsip legal tindakan keperawatan.
5.
Mengetahui
dan memahami malpraktik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Prinsip –
Prinsip Etik Tindakan Keperawatan.
Praktik keperawatan yang aman
memerlukan pemahaman tentang batasan legal yang ada dalampraktik perawat. Sama
dengan semua aspek keperawatan, pemahaman tentang implikasi hukumdapat
mendukung pemikiran kristis perawat. Perawat perlu memahami hukum untuk
melindungihak kliennya dan dirinya sendiri dari masalah. Perawat
tidak perlu takut hukum, tetapi lebih melihathukum
sebagai dasar pemahaman terhadap apa yang masyarakat harapkan dari
penyelenggarapelayanan keperawatan yang profesional.
Isi dari
prinsip – prinsip legal dan etis adalah :
a. Otonomi
(Autonomy)
Prinsip
otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggapkompeten dan memiliki
kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau
pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsipotonomi merupakan bentuk
respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak
memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakanhak kemandirian dan
kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri.Praktek profesional
merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat
keputusan tentang perawatan dirinya.
b. Berbuat Baik ( Beneficience)
Beneficience
berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,memerlukan pencegahan dari
kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahanatau kejahatan dan peningkatan
kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang,dalam situasi pelayanan kesehatan,
terjadi konflik antara prinsip ini denganotonomi.
c.
Keadilan (
Justice)
Prinsip
keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap oranglain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai inidirefleksikan
dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapiyang benar sesuai
hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas
pelayanan kesehatan.
d. Tidak
Merugikan (Nonmal eficience)
Prinsip ini
berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis padaklien.
e.
Kejujuran (Veracity)
Prinsip
veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap kliendan untuk
meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan
dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar
menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman
dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengankeadaan dirinya selama menjalani
perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa argument mengatakan adanya
batasan untuk kejujuran seperti jikakebenaran akan kesalahan prognosis klien
untuk pemulihan atau adanyahubungan paternalistik bahwa ´doctors knows best´
sebab individu memilikiotonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi
penuh tentangkondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan
saling percaya.
f.
Menepati
Janji (Fidelity)
Prinsip
fidelitydibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennyaterhadap
orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji sertamenyimpan
rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseoranguntuk
mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkankepatuhan
perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawabdasar dari
perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit,memulihkan
kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
g. Karahasiaan ( Confidentiality)
Aturan dalam
prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatanklien hanya
boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpundapat
memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien
dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan,
menyampaikan pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan
lain harusdihindari.
h. Akuntabilitas
( Accountability)
Akuntabilitas
merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat
dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
i.
Informed
Consent
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti
telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang
berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung
pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan
demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang
diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan
dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai
“suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan
dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya
medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai
segala resiko yang mungkin terjadi.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal
3 (tiga) unsure sebagai berikut : Keterbukaan informasi yang cukup diberikan
oleh dokter Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan Kesukarelaan (tanpa
paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal,
ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang
“informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988.
Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang
“Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para
dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
“informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan
operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau
keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan
tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk.
1. Bentuk-Bentuk Persetujuan
a.
Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir
3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
b.
Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat
non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak
pasien;
c.
Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya
pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan
lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap
dirinya.
2. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis
(pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan : Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara
hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun
tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan
malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis,
serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over
utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari
tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis
yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment”
yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan
teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi
dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika
melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena
ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh
teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent
mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1.
Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia.
2.
Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3.
Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam
mengobati pasien
4.
Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5.
Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6.
Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan
kesehatan
7.
Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang
kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent diberikan di setiap pengobatan oleh dokter.
2.2.
Issue Etik
Dalam Tindakan Keperawatan
1. Euthanasia
a. Pengertian Euthanasia
Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos
yang berarti kematian adalah praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui
cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit
yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang
mematikan.
Aturan hukum mengenai
masalah ini sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan seringkali berubah seiring
dengan perubahan norma-norma budaya dan
tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di
beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan
di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Karena
sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa
memandang status hukumnya.
b. Jenis – Jenis Euthanasia
Euthanasia dapat digolongkan menjadi beberapa macam,
ditinjau dari berbagai sudut pandang sebagai berikut:
Dilihat dari
cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibedakan atas :
1.
Euthanasia Pasif
Euthanasia
pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segalatindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan jidupmanusia. Dengan kata lain,
euthanasia pasif merupakan tindakan tidak memberikan pengobatan lagi
kepada pasien terminal untuk mengakhirihidupnya. Tindakan pada euthanasia pasif
ini dilakukan secara sengajadengan tidak lagi memberikan bantuan medis yang
dapat memperpanjanghidup pasien, seperti tidak memberikan alat-alat bantu hidup
atau obat-obat penahan rasa sakit, dan sebagainya.Penyalahgunaan
euthanasia pasif bias dilakukan oleh tenaga mediamaupun keluarga pasien
sendiri.
Keluarga
pasien bias saja menghendakikematian anggota keluarga mereka dengan berbagai
alasan, misalnya untuk mengurangi penderitaan pasien itu sendiri atau karena
sudah tidak mampumembayar biaya pengobatan.
2. Euthanasia
Aktif atau Euthanasia Agresif
Euthanasia
aktif atau euthanasia agresif adalah perbuatan yangdilakukan secara medik
melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengantujuan untuk mengakhiri
hidup manusia. Dengan kata lain, Euthanasia agresif atau euthanasia aktif
adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien.
Euthanasia
aktif menjabarkan kasus ketikasuatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk
menimbulkan kematian.Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan
kedalam tubuh pasien (suntik mati).
Euthanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas :
a.
Euthanasia
aktif langsung (direct)
Euthanasia
ektif langsung adalah dilakukannnya tindakan medic secaraterarah yang
diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, ataumemperpendek hidup pasien.
Jenis euthanasia ini juga dikenal sebagai mercy killing.
b. Euthanasia
aktif tidak langsung (indirect)
Euthanasia
aktif tidak lamgsung adalah saat dokter atau tenagakesehatan melakukan tindakan
medis untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya risiko
tersebut dapatmemperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
3.
Euthanasia
Non Agresif
Euthanasia
non agresif atau disebut juga autoeuthanasia termasuk euthanasia negative
dimana seorang pasien menolak secara tegas dandengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan pasien tersebutmengetahui bahwa penolakannya tersebut akan
memperpendek ataumenakhiri hidupnya
Ditinjau dari permintaan atau pemberian izin,
euthanasia dibedakan atas :
1.
Euthanasia
diluar Kemauan Pasien
Suatu tindakan euthanasiayang
bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup.Tindakan seperti ini
dapat disamakan dengan pembunuhan.
2.
Euthanasia
Voluntir atau Euthanasia Sukarela atau Atas Permintaan Pasien
Euthanasia yang dilakukan atas
permintaan atau persetujan pasien itu sendiri secara sadar dan diminta
berulang-ulang.
3.
Euthanasia
Involuntir atau Euthanasia Tidak Sukarela atau Tidak Atas Permintaan
Pasien
Euthanasia yang dilakukan pada
pasien yangsudah tidak sadar, biasanya keluarga pasien yang meminta. ni
terjadiketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur,ketidak
mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus iniadalah menghentikan
bantuan makanan dan minuman untuk pasienyang berada di dalam keadaan
vegetatif (koma). Euthanasia iniseringkali menjadi bahan perdebatan dan
dianggap sebagai suatutindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi
apabilaseseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu
keputusan, misalnya hanya seorang wali dari pasien dan mengaku memiliki hak
untuk mengambil keputusan bagi pasientersebut.
c.
Konsep Tentang kematian
Secara umum,
kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian
tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan.Dalam konteks kesehatan
modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatuyang datang secara tiba-tiba.
Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan
tanggal kejadiannya.
Euthanasia
memungkinkanhal tersebut terjadi.Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari
perkembangan konsep tentangkematian. Usaha manusia untuk memperpanjang
kehidupan dan menghindarikematian dengan mempergunakan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologidalam bidang kedokteran telah membawa masalah baru
dalam euthanasia,terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang dinyatakan
telah mati.Beberapa konsep tentang mati yang dikenal adalah :
1.
Mati sebagai
berhentinya darah mengalir
2.
Mati sebagai
saat terlepasnya nyawa dari tubuh
3.
Hilangnya
kemampuan tubuh secara permanen
4.
Hilangnya
manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukaninteraksi social.
Konsep mati
dari berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini danyang juga diatur
dalam PP. 18 Tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi
jantung paru, tidak bisa dipergunakan lagi Karena teknologi resusitasi telah
memungkinkan jantung dan paru yang semua terhenti, kinidapat dipacu untuk
berdenyut kembali dan paru dapat dipompa untuk berkembang kempis
kembali.
Konsep mati
terlepasnya roh dari tubuh sering menimbulkan keraguankarena misalnya pada
tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikianmenimbulkan kesan
seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali.Mengenai konsep mati, dari hilangnya
kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara
terpadu, juga dipertanyakankarena organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa
terkendali karena otak telah mati.Untuk kepentingan transplantasi konsep ini
menguntungkan, tetapi secara moraltidak dapat diterima karena kenyataannya
organ-organ masih berfungsimeskipun tidak terpadu lagi.Bila dibandingkan dengan
manusia sebagai makhluk social, yaitu individuyang mempunyai kepribadian,
menyadari kehidupannya, kekhususanya,lemampuannya mengingat, menentukan sikap,
dan mengambil keputusan,mengajukan alasan yang masuk akal, mampu berbuat,
menikmati, mengalamikecemasan, dan sebagainya, kemampuan untuk melakukan
interaksi socialtersebut makin banyak dipergunakan.Pusat pengendali ini
terletak dalam batang otak. Oleh karena itu, jika batang otak telah mati
(brain stem death) dapat diyakini bahwa manusia itusecara fisik dan social
telah mati. Dalam keadaan demikian kalangan medissering menempuh pilihan tidak
meneruskan resusitasi (DNR, do notresuscitation).
Penentuan
saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam World MedicalAsembly tahun 1968
yang dikenal dengan deklarasi Sydney. Disini dinyatakan bahwa penentuan
saat kematian di kebanyakan Negara merupakan tanggung jawab sah dokter.
Dokter dapat menentukan seseorang sudah mati denganmenggunakan kriteria yang lazim
tanpa bantuan alat-alat khusus, yang telahdiketahui oleh semua dokter.Hal
penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematiantersebut sudah
tidak dapat dibalikkan lagi (irreversible), meski menggunakanteknik penghidupan
kembali apapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alatyang sungguh-sungguh
memuaskan dapat digunakan untuk penentuan saat matiini, alat
elektroensefalograf dapat diandalkan untuk maksud tersebut.Jika penentuan saat
mati berhubungan dengan kepentingan transplantasiorgan, keputusan saat mati
harus dilakukan oleh dua orang dokter atau lebih,dan dokter yang menentukan
saat mati itu tidak boleh ada kaitannya langsungdengan pelaksanaan
transplantasi tersebut.
d.
Aturan
Hukum Mengenai Euthanasia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur
seseorang dapat dipidana atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain
dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran
pidanayang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal
·
Pasal 344 KUHP
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh,dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab
walaupunterdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga
pasienmengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman iniharus
dihadapinya.Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan,
beberapa pasal ini perlu diketahui oleh dokter.
·
Pasal 338 KUHP
“ Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa
orang lain, diukur karena maker mati, dengan penjara selama-lamanya lima
belas tahun.”
·
Pasal 340 KUHP
“Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih
dahulumenghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhandirencanakan
(moord), dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atay
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”
·
Pasal 359 KUHP
“Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya
orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan
selama-lamanya satutahun.”
Selanjutnya, dibawah ini dikemukakan
sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehata nuntuk berhati-hati
menghadapi kasus euthanasia:
·
Pasal 345 KUHP
“Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain
untuk membunuhdiri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya
itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.” Pasal
ini mengingatkan dokter untuk, jangankan melakukan euthanasia, menolong atau
memberi harapan kearah perbuatan itu sajapun sudah mendapat ancaman pidana.
- Aborsi
Menjalani
kehamilan itu berat, apalagi kehamilan yang tidak dikehendaki. Terlepas dari
alasan apa yang menyebabkan kehamilan, aborsi dilakukan karenaterjadi kehamilan
yang tidak diinginkan. Apakah dikarenakan kontrasepsi yanggagal, perkosaan,
ekonomi, jenis kelamin atau hamil di luar nikah.Mengenai alasan aborsi, memang
banyak mengundang kontroversi. Adayang berpendapat bahwa aborsi perlu di legalkan
dan ada yang berpendapattidak perlu dilegalkan.Pelegalan aborsi dimaksudkan
untuk mengurangi tindakan aborsi yangdilakukan oleh orang yang tidak
berkompeten, misalnya dukun beranak.Sepanjang aborsi tidak dilegalkan maka
angka kematian ibu akibataborsiakan terus meningkat.
Ada yang
mengkatagorikan Aborsi itu pembunuhan. Ada yang melarangatas nama agama. Ada
yang menyatakan bahwa jabang bayi juga punya hak hidup sehingga harus
dipertahankan, dan lain-lain.Jika aborsi untuk alasan medis, aborsi adalah legal,
untuk korban perkosaan, masih di grey area, aborsi masih diperbolehkan
walaupun tidak semua dokter mau melakukannya.
Kasus
perkosaan merupakan pilihan yangsulit. Meskipun bisa saja kita mengusulkan
untuk memelihara anaknya hinggalahir, lalu diadopsikan ke orang lain, itu semua
tergantung kematangan jiwa siibu dan dukungan masyarakat agar anak yang
dilahirkan tidak dilecehkan olehmasyarakat.Untuk kehamilan diluar nikah atau
karena sudah kebanyakan anak dankontrasepsi gagal perlu dipirkirkan kembali karena
masih banyak orangmendambakan anak.Sebaiknya kita jangan mencari pemecahan
masalah yang pendek / singkat / jalan pintas, tapi harus jauh menyentuh
dasar timbulnya masalah itu sendiri.Prinsip melegalkan aborsi, sama seperti
Prinsip lokalisasi.Banyak celah yang justru akan dimanfaatkan untuk
begituan.
Karena seks
bebas sudah jadi realitasekarang ini, apalagi di kota-kota besar. Jika di data,
orang-orang yang inginmengaborsi, berapa persen yang dikarenakan anaknya 7 dan
malnutrisi semua,dibandingkan karena hamil diluar nikah - atau hamil dalam
perselingkuhan, jauh lebih besar yg. karena di luar nikah daripada karena
alasan ekonomi.Perempuan berhak dan harus melindungi diri mereka dari
eksploitasi oranglain, termasuk suaminya, agar tidak perlu aborsi. Sebab aborsi,
oleh paramedisataupun oleh dukun, legal atau illegal, akan tetap menyakitkan
buat wanita,lahir dan batin meskipun banyak yang. menyangkalnya.
Karena itu
kita harus berupaya bagaimana caranya supaya tidak sampai berurusan dengan
hal yangakhirnya merusak diri sendiri.
Karena ada
laki-laki yang bisa seenak melenggang pergi, dan tidak peduli apa-apa
meskipun pacarnya/istrinya sudahaborsi dan mereka tidak bisa diapa-apakan,
kecuali pemerkosa, yang jelas adahukumnya.Jadi solusinya bukan cuma dari rantai
yang pendek, tapi dari ujung rantaiyang terpanjang, yaitu : penyuluhan tentang
seks yang benar.Jika diliat kebelakang, mengapa banyak remaja yg aborsi, karena
merekamelakukan seks bebas untuk itu diperlukan pendidikan agama agar
moralmereka tinggi dan sadar bahwa free seks tidak sesuai dengan agama
dan berbahaya.Jika tidak ingin hamil gunakan kontrasepsi yang paling aman
dankontrasepsi yang paling aman adalah tidak berhubungan seks sama sekali.
Segala
sesuatu itu ada resikonya. Untuk itu sebelum bertindak, orang harusmulai
berpikir : nanti bagaimana bukannya bagaimana nanti.
Keputusan
aborsi juga dapat keluar dalam waktu yang singkat, dan setelahmelewati waktu
krisis, bisa saja keputusan aborsi dibatalkan karena adaseseorang yang
mendampingi memberikan support, dan dia tidak jadimengaborsi.
Keputusan
untuk aborsi, kemungkinan bisa menghantui seumur hidupnya,mengaborsi anaknya,
dan selama beberapa minggu dia masih menyesali danmenangisi kejadian itu,
seperti kematian seorang anak.Apalagi jika aborsi dilakukan akibat paksaan,
misalnya paksaan dariorangtua, demi nama baik keluarga. Bayangkan berapa banyak
orang-orangyang. bisa dipaksa untuk menggugurkan, jika aborsi ini dilegalkan.
a.
Macam Macam
Aborsi
Dalam dunia
kedokteran dikenal 3 jenis aborsi:
1.
Aborsi
Spontan atau Alamiah.
Berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan
disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
2.
.Aborsi
Buatan atau Sengaja.
Adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28
minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu
maupun si pelaksana aborsi. Misalnya dengan bantuan obat aborsi.
3.
Aborsi
Terapeutik atau Medis.
Adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan
atas indikasi medic. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi
mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang
dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya.
Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
b.
Akibat Dari
Aborsi
1.
Luka pada serviks uteri
Apabila
jaringan serviks keras dan dilatasi dipaksakan maka dapat timbulsobekan pada
serviks uteri yang perlu dijahit. Apabila terjadi luka padaostium uteri
internum, maka akibat yang segera timbul ialah perdarahanyang memerlukan
pemasangan tampon pada serviks dan vagina. Akibat jangka panjang ialah
kemungkinan timbulnya incompetent cerviks.
2.
Pelekatan pada kavum uteri
Melakukan
kerokan secara sempurna memerlukan pengalaman. Sisa-sisahasil konsepsi harus
dikeluarkan, tetapi jaringan miometrium jangansampai terkerok, karena hal itu
dapat mengakibatkan terjadinya perlekatandinding kavum uteri di beberapa
tempat. Sebaiknya kerokan dihentikan pada suatu tempat apabila pada suatu
tempat tersebut dirasakan bahwa jaringan tidak begitu lembut lagi.
3.
Perdarahan
Kerokan pada
kehamilan yang sudah agak tua atau pada mola hidatidosaterdapat bahaya
perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknyadilakukan transfusi darah dan
sesudah itu, dimasukkan tampon kasa kedalam uterus dan vagina.
4.
Infeksi
Apabila
syarat asepsis dan antisepsis tidak diindahkan, maka bahayainfeksi sangat
besar. Infeksi kandungan yang terjadi dapat menyebar keseluruh peredaran darah,
sehingga menyebabkan kematian. Bahaya lainyang ditimbulkan abortus kriminalis
antara lain infeksi pada saluran telur.Akibatnya, sangat mungkin tidak bisa
terjadi kehamilan lagi
c.
Keamanan
Aborsi
Aborsi aman bila:
1.
Dilakukan
oleh pekerja kesehatan (perawat,
bidan, dokter) yang benar-benar terlatih dan berpengalaman melakukan
aborsi.
2.
Pelaksanaannya
mempergunakan alat-alat kedokteran yang layak.
3.
Dilakukan
dalam kondisi bersih, apapun yang masuk dalam vagina ataurahim harus steril
atau tidak tercemar kuman dan bakteri.
4.
Dilakukan
kurang dari 3 bulan (12 minggu)
sesudah pasien terakhir kalimendapat haid.Pelayanan
Kesehatan
yang Memadai adalah HAK SETIAP ORANG, tidak terkecuali Perempuan yang
memutuskan melakukan Aborsi.
d.
Hukum –
Hukum Tentang Aborsi
Pasal 15 ayat (1) dan (2) UndangUndang Keschatan Nomor
23 Tahun 1992. Ada beberapa hal yang dapat dicermati dari jenis aborsi ini
yaitu bahwa temyata aborsi dapat dibenarkan sccara hukum apabila dilakukan
dengan adanya pertimbangan medis. Dalam hal ini berarti dokter atau tenaga
keseliatan mempunyai hak untuk melakukan aborsi dengan mcnggunakan pertimbangan
Demi menyelamatkan ibu hamil atau janinnya.
Berdasarkan
pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, tindakan medis
(aborsi) sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan
tim ahli.
Aborsi
tersebut dapat dilakukan dengan persetujuan dari ibu hamil yang bersangkutan
atau suami atau keluargnya. Hal tersebut berarti bahwa apabila prosedur
tersebut telah terpenuhi maka aborsi yang dilakukan bersifat legal atau dapat
dibenarkan dan dilindungi secara hukum. Dengan kata lain vonis medis oleh
tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan merupakan tindak
pidana atau kejahatan.
Berbeda
halnya dengan aborsi yang dilakukan tanpa adanya pertimbangan medis sebagaimana
yang ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor
23 tahun 1992, aborsi jenis ini disebut dengan aborsi provokatus kriminalis.
Artinya bahwa tindakan aborsi seperti ini dikatakan tindakan ilegal atau tidak
dapat dibenarkan secara hukum. Tindakan aborsi seperti ini dikatakan sebagai
tindakan pidana atau kejahatan.
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengkualifikasikan perbuatan aborsi tersebut
sebagai kejahatan terhadap nyawa. Agar dapat membahas secara detail dan cermat
mengenai aborsi provokatus kriminalis, kiranya perlu diketahui bagaimana
konstruksi hukum yang berakitan dengan tindakan aborsi sebagai kejahatan yang
ditentukan dalam KUHP. Pasal 346 : "Seorang wanita yang sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pasal 347 :
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 :
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun . (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau
membantu melakukan salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348,
maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
2.3.
Transplantasi
Organ
Transplantasi adalah
pemindahan suatu jaringan atau organmanusia tertentu dari suatu tempat ke
tempat lain pada tubuhnya sendiriatau tubuh orang lain dengan persyaratan dan
kondisi tertentu. Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia
merupakantindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan ganguanfungsi
organ tubuh yang berat. Ini adalah
terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong
penderita/pasien dengankegagalan organnya, karena hasilnya lebih memuaskan
dibandingkandengan pengobatan biasa atau dengan cara terapi. Hingga dewasa
initransplantasi terus berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakanmedik
ini tidak dapat dilakukan begitu saja, karena masih harusdipertimbangkan dari
segi non medik, yaitu dari segi agama, hukum, budaya, etika dan moral. Kendala
lain yang dihadapi Indonesia dewasa
inidalam menetapkan terapi transplatasi, adalah terbatasnya jumlah
donor keluarga ( Living Related Donor, LRD) dan donasi organ jenazah. Karenaitu diperlukan kerjasama yang saling
mendukung antara para pakar terkait (hukum,
kedokteran, sosiologi, pemuka agama, pemuka masyarakat), pemerintah dan
swata.
a. Jenis-Jenis Transplantasi
Kini telah dikenal beberapa jenis
transplantasi atau pencangkokan , baik berupa cel, jaringan maupun organ tubuh
yaitu sebagai berikut:
1.
Transplantasi
Autologus
Yaitu perpindahan dari satu tempat ketempat lain dalam
tubuh itu sendiri,yang dikumpulkan sebelum pemberian kemoterapi,
2.
Transplantasi
Alogenik
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang
sama spesiesnya,baik dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan keluarga.
3.
Transplantasi
Singenik
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang
identik,misalnya pada gambar identik.
4.
Transplantasi
Xenograft
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang
tidak sama spesiesnya.
Organ atau jaringan tubuh yang
akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup atau dari jenazah orang
yang baru meninggal dimana meninggal sendiri didefinisikan kematian batang
otak. Organ-organ yang diambil dari donor hidup seperti : kulit ginjal sumsum
tulang dan darah (transfusi darah).
Organ-organ yang diambil dari
jenazah adalah jantung, hati, ginjal, kornea, pancreas, paru-paru dan sel otak.
Dalam 2 dasawarsa terakhir telah dikembangkan tehnik transplantasi seperti
transplantasi arteria mamaria interna dalam operasi lintas koroner oleh George
E. Green. dan Parkinson.
b.
Komponen
Yang Mendasari Transplantasi
Ada dua
komponen penting yang mendasari tindakan transplantasi, yaitu:
1. Eksplantasi
Yaitu usaha
mengambil jaringan atau organ manusiayang hidup atau yang sudah meninggal.
2. Implantasi
Yaitu usaha
menempatkan jaringan atau organ tubuhtersebut kepada bagian tubuh sendiri atau tubuh
orang lain.
- Komponen
Yang Menunjang Transplantasi
Disamping dua komponen yang mendasari di atas, ada
juga duakomponen penting yang menunjang keberhasilan tindakan
transplantasi,yaitu:
1. Adaptasi Donasi
Yaitu usaha
dan kemampuan menyesuaikan diriorang hidup yang diambil jaringan atau organ
tubuhnya, secara biologis dan psikis, untuk hidup dengan kekurangan
jaringan atauoragan.
2. Adaptasi Resepien
Yaitu usaha dan kemampuan diri dari penerima jaringan atau organ tubuh
baru sehingga tubuhnya dapat menerimaatau menolak jaringan atau organ tersebut,
untuk berfungsi baik,mengganti yang sudah tidak dapat befungsi lagi.
Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat
diambil dari donor yang hidup atau dari jenazah orang yang baru meninggaldimana
meninggal sendiri didefinisikan kematian batang otak. Organ-organ yang diambil dari donor hidup seperti : kulit ginjal.
sumsum tulang dan darah (transfusi
darah). Organ-organ yang diambildari jenazah adalah jantung, hati, ginjal,
kornea, pancreas, paru-paru dan sel otak.
- Masalah
Etik dan Moral Dalam Transplantasi
Untuk
mengembangkan transplantasi sebagai salah satu cara penyembuhan suatu
penyakit tidak dapat begitu saja diterima masyarakat laus.Pertimbangan etik,
moral, agama, hukum atau sosial budaya ikutmempengaruhinya.
Beberapa
pihak yang ikut terlibat dalam usaha transplantasi adalah :
1.
Donor hidup
Donor hidup
adalah orang yang memberikan jaringan/organnya kepadaorang lain (resepien).
Sebelum memutuskan untuk menjadi donor,seseorang harus mengetahui dan mengerti
resiko yang dihadapi, baik resiko dibidang medik, pembedahan, maupun
resiko untuk kehidupannyalebih lanjut sebahai kekurangan jaringan/organ yang
telah dipindahkan.Disamping itu, untuk menjadi donor, seseorang tidak boleh mengalamitekanan
psikologis. Hubungan psikis dan emosi harus sudah dipikirkanoleh donor hidup
tersebut untuk mencegah timbulnya masalah.
2.
Jenazah dan
Donor Mati
Jenazah dan
Donor Mati adalah orang yang semasa hidupnya telahmengizinkan atau berniat
dengan sungguh-sungguh untuk memberikan jaringan/organ tubuhnya kepada
yang memerlukan apabila ia telahmeninggal kapan seorang donor itu dapat
dikatakan meninggal secarawajar, dan apabila sebelum meninggal, donor itu
sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter yang merawatnya. Semua
itu untuk mencegahadanya tuduhan dari keluarga donor atau pihak lain bahwa tim
pelaksanatransplantasi telah melakukan upaya mempercepat kematian
seseoranghanya untuk mengejar organ yang akan ditransplantasikan.
3.
Keluarga
Donor dan Ahli Waris
Kesepakatan
keluarga donor dan resepien sangat diperlukan untuk menciptakan saling
pengertian dan menghindari konflik semaksimal mungkin ataupun tekanan psikis
dan emosi dikemudian hari. Darikeluarga resepien sebenarnya hanya dituntut
suatu penghargaan keluargadonor dan keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya
jika dibuat suatuketentuan untuk mencegah timbulnya rasa tidak puas kedua belah
pihak.
4.
Resipien
Resipien
adalah orang yang menerima jaringan/organ orang lain. Padadasarnya, seorang
penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat
memperpanjang hidup atau meringankan penderitaannya. Seorang resipien
harus benar-benar mengerti semua halyang dijelaskan oleh tim pelaksana
transplantasi.
Melalui
tindakantransplantasi diharapkan dapat memberikan nilai yang besar
bagikehidupan resepien. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa
hasiltransplantasi terbatas dan ada kemungkinan gagal. Juga perlu
disadari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam
percobaanyang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang
akandatang.
5.
Dokter dan
Tenaga Pelaksana lain
Untuk
melalukan suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat persetujuan
dari donor, resepien, maupun keluarga kedua belah pihak.
6.
Masyarakat
Secara tidak
langsung masyarakat turut menetukan perkembangantransplantasi. Kerjasama tim
pelaksana dengan para cendekiawan, pemuka masyarakat, atau pemeluk agama
diperlukan untuk mendidik masyarakat untuk lebih memahami maksud dan
tujuan luhur usahatransplantasi. Dengan adanya pengertian ini kemungkinan
penyediaanorgan yang segera diperlukan, atas tujuan luhur, akan dapat
diperoleh.
- Hukum Transplantasi Organ
1.
Aspek Hukum
Transplantasi
Dari
segi hukum ,transplantasi organ,jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu
hal yang mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia,walaupun ini
adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pdana yaitu tindak pidana
penganiayaan.tetapi mendapat pengecualian hukuman,maka perbuatan tersebut tidak
lagi diancam pidana, dan dapat dibenarkan.
Dalam
PP No.18 tahun 1981 tentana bedah mayat klinis, beda mayat anatomis dan
transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia tercantum pasal tentang
transplantasi sebagai berikut :
Pasal
1. c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringa tubuh yang dibentuk
oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk
tubuh tersebut.
Pasal
1 : d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mmempunyai bentuk dan faal
(fungsi) yang sama dan tertentu.
Pasal
1: e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan
atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh ynag tidak berfungsi
dengan baik.
Pasal
1: f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada
orang lain untuk keperluan kesehatan.
Pasal
1: g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran
yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut jantung seseorang
telah berhenti.
Ayat
g mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas,maka IDI dalam seminar
nasionalnya mencetuskan fakta tentang masalah mati yaitu bahwa seseorang
dikatakan mati bila fungsi spontan pernafasan da jantung telah berhenti secara
pasti atau irreversible,atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Pasal
10. Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilaukan dengan
memperhatikan ketentuan yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau
keluarga terdekat setelah penderita meninggal dunia.
Pasal
11: 1 Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya boleh dilakukan oleh dokter
yang ditunjukolehmentri kesehatan.
Ayet 2 Transplantasi alat dan
jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau
mengobati donor yang bersangkutan.
Pasal
12 Penentuan saat mati ditentukan oleh 2 orang dokter yang tudak ada sangkut
paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi. Pasal 13 Persetujuan
tertulis sebagaimana dimaksudkan yaitu dibuat diatas kertas materai dengan
2(dua) orang saksi.
Pasal
14 Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi
atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia,dilakukan dengan
persetujuan tertulis dengan keluarga terdekat.
Pasal 15 : 1
Senbelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia
diberikan oleh donor hidup,calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu
diberitahu oleh dokter yang merawatnya,termasuk dokter konsultan mengenai
operasi,akibat-akibatya,dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Pasal 2.
Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar ,bahwa calon donor
yang bersangkutan telah meyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
Pasal 16. Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak dalam
kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi.
Pasal
17 Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18 Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua bentuk ke dan dari luar negeri. Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan dicantumkan beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut: Pasal 33:1 Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan jaringan tubuh,transfuse darah ,imflan obat dan alat kesehatan,serta bedah plastic dan rekontruksi.
Pasal 18 Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dan semua bentuk ke dan dari luar negeri. Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan dicantumkan beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut: Pasal 33:1 Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan jaringan tubuh,transfuse darah ,imflan obat dan alat kesehatan,serta bedah plastic dan rekontruksi.
Pasal
2 Transplantasi organ dan jaringan serta transfuse darah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan kemanusiaan yang
dilarang untuk tujjuan komersial.
Pasal 34 :1 Transplantasi organ dan
jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan disaran kesehatan tertentu.
Pasal 2.Pengambilan organ dan jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris
atau keluarganya. 3.Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan
transplantasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
2. Aspek Etik Transplantasi
Transplantasi merupakan upaya terakhir
untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ
tubuhnya.dari segi etik kedokteran tindakan ini wajib dilakukan jika ada
indikasi,berlandaskan dalam KODEKI,yaitu : Pasal 2. Seorang dokter harus
senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi. Pasal 10. Setiap
dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup insani.
Pasal 11. Setiap dokter wajib bersikap
tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk
kepentingan penderita. Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun
1981,pada hakekatnya telah mencakup aspek etik, mengenai larangan memperjual
belikan alat atu jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi atau meminta
kompensasi material.
Yang perlu diperhatikan dalam tindakan
transplantasi adalah penentuan saat mati seseorang akan diambil organnya, yang
dilakukan oleh 2 orang doter yang tidak ada sangkt paut medik dengan dokter
yang melakukan transplantasi,ini erat kaitannya dengan keberhasilan
transplantasi, karena bertambah segar organ tersebut bertambah baik
hasilnya.tetapi jangan sampai terjadi penyimpangan karena pasien yang akan
diambil organnya harus benar-benar meninggal dan penentuan saat meninggal
dilakukan dengan pemeriksaan elektroensefalografi dan dinyatakan meninggal jika
terdapat kematian batang otak dan sudah pasti tidak terjadi pernafasan dan
denyut jantung secara spontan.pemeriksaan dilakukan oleh para dokter lain bukan
dokter transplantasi agar hasilnya lebih objektif.
3. Devicies ( Alat-Alat)
Alat-alat
yang biasanya digunakan meliputi :
1.
Cusa (pisau
pemotong yang menggunakan gelombang ultrasonografi),
2.
Meja
operasi,
3.
Gunting ,
4.
Pisau
operasi,
5. Bedah,
6.
Slang-slang
pembiusan,
7.
Drap (kain
steril yang digunakan untuk menutup bagian tubuh yang tidak dioperasi),
8.
Plastic
steril berkantong yang fingsinya menampung darah yang meleleh dari tubuh
pasien,
9.
Retractor,
10. Penghangat
darah dan cairan,
11. Lampu
operasi.
2.4.
Prinsip –
Prinsip Legal Tindakan Keperawatan
Sikap etis
profesional yang kokoh dari setiap perawat akan tercermin dalam setiap langkahnya,
termasuk penampilan diri serta keputusan yang diambil dalam merespon
situasi yang muncul. Oleh karena itu pemahaman yang mendalam
tentang etika dan moral serta penerapannya menjadi bagian yang sangat
penting dan mendasar dalam memberikan asuhan keperawatan atau
kebidanan dimana nilai-nilai pasen selalu menjadi
pertimbangan dan dihormati.
a.
Advokasi
Advokasi adalah memberikan saran dalam upaya
melindungi dan mendukung hak-hak pasien. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban
moral bagi perawat, dalam menemukan kepastian tentang dua sistem pendekatan
etika yang dilakukan yaitu pendekatan berdasarkan prinsip dan asuhan. Perawat atau yang memiliki komitmen
tinggi dalam mempraktekkan keperawatan profesional dan tradisi tersebut perlu
mengingat hal-hal :
1.
Pastikan
bahwa loyalitas staf atau kolega agar tetap memegang teguh komitmen utamanya
terhadap pasen.
2.
Berikan
prioritas utama terhadap pasen dan masyarakat pada umumnya.
3.
Kepedulian
mengevaluasi terhadap kemungkinan adanya klaim otonomi dalam kesembuhan pasien.
Istilah advokasi sering digunakan dalam
hukum yang berkaitan dengan upaya melindungi hak manusia bagi mereka yang tidak
mampu membela diri. Arti advokasi menurut ANA (1985) adalah “melindungi klien
atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan keselamatan praktik tidak sah
yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapa pun”. Fry
(1987) mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap setiap hal yang
memiliki penyebab atau dampak penting.
Definisi ini mirip dengan yang
dinyatakan Gadow (1983) bahwa “advokasi merupakan dasar falsafah dan ideal
keperawatan yang melibatkan bantuan perawat secara aktif kepada individu secara
bebas menentukan nasibnya sendiri”. Posisi perawat yang mempunyai jam kerja 8
sampai 10 atau 12 jam memungkinkannya mempunyai banyak waktu untuk mengadakan
hubungan baik dan mengetahui keunikan klien sebagai manusia holistik sehingga
berposisi sebagai advokat klien (curtin, 1986). Pada dasarnya, peran perawat
sebagai advokat klien adalah memberi informasi dan memberi bantuan kepada klien
atas keputusan apa pun yang di buat kilen, memberi informasi berarti
menyediakan informasi atau penjelasan sesuai yang dibutuhkan klien, memberi
bantuan mengandung dua peran, yaitu peran aksi dan peran nonaksi.
Dalam menjalankan peran aksi,
perawat memberikan keyakinan kepada klien bahwa mereka mempunyai hak dan
tanggung jawab dalam menentukan pilihan atau keputusan sendiri dan tidak
tertekan dengan pengaruh orang lain, sedangkan peran nonaksi mengandungarti
pihak advokat seharusnya menahan diri untuk tidak memengaruhi keputusan klien
(Khonke, 1982). Dalam menjalankan peran sebagai advokat, perawat harus
menghargai klien sebagai induvidu yangmemiliki berbagai karakteristik. Dalam
hal ini, perawat memberikan perlindungan terhadap martabat dan nilai manusiawi
klien selama dalam keadaan sakit.
b.
Responsibilitas
Resposibilitas
(tanggung jawab) adalah eksekusi terhadap tugas-tugas yang berhubungan dengan
peran tertentu dari perawat. Pada saat memberikan tempat.
c.
Loyalitas
Loyalitas
merupakan suatu konsep yang melewati simpati, peduli, dan hubungan timbal balik
terhadap pihak yang secara profesional berhubungan dengan perawat. Hubungan
profesional dipertahankan dengan cara menyusun tujuan bersama, menepati janji,
menentukan masalah dan prioritas, serta mengupayakan pencapaian kepuasan
bersama (Jameton, 1984, Fry, 1991).
Untuk mencapai
kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan hubungan dengan berbagai pihak yang
harmonis, loyalitas harus dipertahankan oleh setiap perawat baik loyalitas
kepada klien, teman sejawat, rumah sakit maupun profesi.
2.5.
Malpraktek
Malpraktek adalah kelalaian
dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan
ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Malpraktek harus dibuktikan
bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan
diwilayah tersebut.
Kelalaian
memakai tolak ukur yakni :
a.
Cara
Langsung
Dalam
hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah
bertindak berdasarkan:
1.
Adanya
indikasi medis
2.
Bertindak
secara hati-hati dan teliti
3.
Bekerja
sesuai standar profesi
4.
Sudah ada
informed consent.
b. Cara Tidak Langsung
Cara tidak
langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
1.
Fakta tidak
mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai.
2.
Fakta itu
terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan.
3.
Fakta itu
terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.(gugatan pasien).
a. Upaya Pencegahan Malpraktek Dalam
Pelayanan Kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat
untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam
menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1. Tidak
menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning
verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2. Sebelum
melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3.
Mencatat
semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4.
Apabila
terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
5.
Memperlakukan
pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
6.
Menjalin
komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
b.
Sanksi Hukum
1.
Jika perbuatan malpraktik khususnya
yang dilakukan oleh tenaga medis, terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan
(dolus) dan ataupun kelalaian (culpa), maka adalah hal yang sangat pantas jika
yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan
ataupun kelalaian telah an telah melakukan perbuatan melawan hukum yang bisa
menghilangkan Jika perbuatan malpraktik khususnya yang dilakukan oleh tenaga
medis, terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun
kelalaian (culpa), maka adalah hal yang sangat pantas jika yang bersangkutan
dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalainyawa
seseorang.
Prita terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun
kelalaian (culpa), maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang
bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun
kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa
seseorang, serta tidak menutup kemungkinan juga dapat mengancam dan
membahayakan keselamatan jiwa ibu yang melakukan aborsi.
2. Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian
yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359,
misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya
keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang.
Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (1)‘Barang siapa karena
kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan
pidasna penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
(2)’Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian
rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi
tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap mereka yang terbukti
melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga
dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.
”Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang
mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain
maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat
dilakukan.
3. Berdasarkan
Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan aturan kode etik profesi
praktik dokter. Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan
perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus)
telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang
menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada
korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHP perdata).
“Tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur
oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
4. Melihat
berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat
dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga
para tim medis akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah
melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya
profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi seperti ini
azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus
malpraktik demi terciptanya supremasi hukum.
5. Apalagi,
azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama
di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah
(presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana
dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas
(sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan
malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter
telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran
terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
6. Peran
pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (Kodeki) sangatlah perlu ditingkatkan
untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering
terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti
halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll.
Pengawasan
biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus
sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis
Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka
dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam
Kode Etik Kedokteran Indonesia.
7. Namun, jika
kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga
dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh
undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang
berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga
yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar
hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Baik secara
pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif
dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian
hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi.
Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik
ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab
hukum profesinya.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Setelah
membahas teori, maka kita dapat :
- Mengetahui prinsip-prinsip etika keperawatan :
otonomi, beneficence, justice, moral right, nilai dan norma
masyarakat.
- Mengetahui isue etik dalam praktik keperawatan :
euthanasia,aborsi.Diketahui transplantasi organ, supporting.
- Mengetahui devices.
- Mengetahui prinsip-prinsip legal dalam praktik
keperawatan :malpraktik, neglected.
3.2.
Saran
Hendaknya
mahasiswa dapat benar-benar memahami dan mewujudnyatakan peran perawat yang
legal etis dalam pengambilan keputusan dalam konteks etika keperawatan.
Langganan:
Postingan (Atom)